Senin, 05 Oktober 2009

CHISEL (PAHAT)

Dalam kurun waktu 2 bulan ini bangsa kita disibukkan dengan mengcounter pengklaiman negara Malaysia atas beberapa kekayaan budaya Indonesia (reog, pendet, batik dan yang terbaru adalah jenis makanan traditional) serta juga pengklaiman batas wilayah yang dalam segi tata geografis berada dalam wilayah Indonesia (versi pemerintah).
Demo turun kejalan, pernyataan-pernyataan dari seniman, budayawan, dan pemerintah atas pengklaiman tersebut menghiasi setiap media cetak dan elektronik dari pagi hingga malam hari. Semangat, rasa cinta tanah air yang begitu terpatri dalam jiwa mereka yang memprotes klaim negara tetangga tersebut terlihat begitu tinggi. Sampai dengan aksi pembakaran bendera Malaysia dan ada juga beberapa orang Indonesia yang memakai kenderaan roda 4 PROTON diberhentikan ditengah jalan dengan alasan mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme. Pada kasus klaim wilayah ambalat, pernyataan perang dari pemerintah Indonesia disambut pro dan kontra. Bahkan tidak sedikit kelompok tertentu mempersiapkan dan berlatih untuk sebuah misi ganyang Malaysia.Itu semua adalah hal yang wajar menurut saya.
Tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk fit back sebelum pengklaiman dilakukan oleh Malaysia. Adakah dan siapakah yang peduli dengan budaya kita? Adakah pemerintah kita respek dan tanggap dengan wilayah NKRI yang berbatasan dengan negara tetangga? Ada pasti, tapi hanya sekedar dan tidak penuh arti. Untuk budaya kita dan semua masyarakat Indonesia hanya peduli sebatas untuk acara-acara nasional dalam bentuk seremonial saja seperti perayaan hari jadi daerah, 17 Agustusan dll yang begitu kegiatan tersebut selesai, berakhir pula kepedulian kita semua. Tidak ada yang perduli untuk menguatkan budaya kita dalam dunia International yang tidak hanya sekedar mereka tahu melihat dan bertepuk tangan sambil berucap "good dance" untuk tarian daerah serta "this Indonesian traditional food" untuk makanan atau apa pun lagi budaya kita lainnya. Tapi lebih daripada itu adalah bagaimana budaya tersebut tersertifikasi di dunia International sehingga lebih kuat dan terlegitimasi.
Dalam pikiran saya tumbuh dan berkembang serta jadinya suatu negara (yang pasti juga akan melahirkan budaya) adalah akibat dari terkonsentrasinya orang-orang dari tempat lain berbaur dan menetap sehingga terbentuk nya sebuah golongan masyarakat yang melahirkan beragam budaya baru serta keaneka ragaman tetapi tidak jauh berbeda dan akan terjadi sebuah keseragaman yang tidak jauh berbeda dari negara satu dengan negara lainnya. Setelah adanya lagi klaim negara Malaysia terhadap makanan traditional kita, saya sempat berbincang dengan seorang teman Muhammad Yasar, S.TP (dosen Fak. Pertanian Unsyiah) mahasiswa Master Institut Alam Sekitar UKM. Beliau mengatakan, "saya sempat bertanya pada instruktur bahasa melayu bernama cik Azlan persoalan klaim makanan tersebut", dan dengan jawaban yang pasti sang instruktur mengatakan "mengambil contoh rendang" bahwa makanan tersebut sudah 4 generasi sebelum dia telah memakan rendang bahkan dari kecil lagi. Ini sebuah pernyataan yang saya uraikan diatas tadi bisa saja sebuah budaya dan apapun nama nya akan terjadi kesamaan serta kemiripan.
Dalam hal wilyah yang diklaim oleh Malaysia, (Ambalat yang memang berbatasan dengan perairan International) dalam penerbangan dari Jakarta menuju Medan dengan maskapai MANDALA saya sempat mebaca majalah pariwisata yang disediakan oleh maskapai tersebut. Dalam sebuah tulisan bagaimana disebutkan pada negara lain, pemerintahnya juga sangat dan begitu memperhatikan wilyah terluar apa lagi yang berbatas langsung dengan sebuah negara lainnya. Disebutkan bagaimana Malaysia dan Papua New Guini (PNG) memberikan porsi yang sama bahkan bisa dikatakan lebih untuk membangun baik fisik (infrastruktu dan ekonomi masyarakatnya) sehingga wilyah perbatasan mereka dapat dikatakan maju dan tidak tertinggal. Begitu juga perbatasan antara Malaysia (Changloon) dengan Thailand (Sadao) yang mana penulis telah tiga kali melewati perbatasan tersebut.
Kembali kita pada maslah klaim negara tetangga kita, yang membuat semua kita kaget serta masing-masing mengeluarkan statemen. Apa yang kita lihat sebelum adanya klaim tersebut, tidak ada yang acuh. Semua adem ayem dan dingin terhadap itu semua. Apa kita bergerak, peduli serta merasa kita yang punya apabila ada yang mengklaim? Saya ingat akan sebuah peralatan tukang CHISEL/PAHAT, ia mempunyai mata yang tajam luar biasa. Mempunyai potensi serta kemampuan. Tapi ia hanya bisa memanfaatkan semua yang dimiliki apabila telah dipukul, dapat berfungsi bila telah dihajar oleh palu atau sejenis pemukul lainnya.
what we nations as the chisel?
Jangan, mari kita peduli tanpa mesti dipalu, tanpa harus dipaksa. Budaya adalah jati diri sebuah bangsa. Wilayah adalah kewibawaan sebuah bangsa.